Hotel Sextantio di Italia (CNN Indonesia/ dok.http://www.sextantio.it/)
“Tempat ini, dulunya adalah tanah bagi para bandit, serigala, dan beruang,” kata Daniele Kihlgren. Pada awalnya, Daniele mengeksplorasi daerah pedesaan di sekitar rumah kuno Santo Stefano di Sessanio.
Nun jauh di sana, di atas bukit-bukit tandus Grans Sasso, wilayah Abruzzo tengah Italia, dusun kecil itu tak berubah sejak abad pertengahan. Terancam masa lalunya yang liar, sampai Daniele muncul dengan visi.
“Pertama kali saya tiba di sini dengan sepeda motor, saya mengembara. Hilang. Tempat yang murni tanpa jejak modernitas ini mengejutkan saya seperti Saint Paul di Road to Damascus,” katanya.
Daniele, pengusaha berdarah Italia-Swedia itu menciptakan visi hidup. Tempat itu dijadikannya resor mewah, berbaur dengan lingkungan sekitar.
Sextantio di Santo Stafano adalah satu dari beberapa 'hotel menyebar'. Sextantio tidak seperti hotel pada umumnya yang kamarnya mengelompok dengan fasilitas berada di bawah satu atap.
Sextantio mempunyai 29 kamar, spa, bar anggur, restoran, dan resepsionis, semua tersebar pada bangunan terpisah. Dulu, bangunan-bangunan itu digunakan sebagai lumbung, kandang, tempat babi, gudang anggur, serta penginapan para petani dan penggembala.
Pondok batu dan kayu dibenahi menjadi suite mewah. Ruang bawah tanah desa yang tadinya dipakai sebagai tempat pernikahan, dan sarang penyihir berubah, kini menjadi tempat pertemuan bisnis. Bordil abad pertengahan pun dimanfaatkan hotel tersebut.
Santo Stefano di Sessanio adalah labirin jalan, tangga batu curam, lengkungan, kubah, gargoyle (talang air diukir dengan wajah manusia atau hewan), gua-gua tersembunyi, seni dekoratif loggia dari awal abad pertengahan, dan reruntuhan dinding yang ditutupi tanaman merambat.
Masih terlihat reruntuhan di sana. Sisa rumah-rumah runtuh saat gempa pada 2009 yang mengguncang dekat kota L'Aquila.
Pembantaian babi
Daniele menggambarkan perjuangan awal dirinya membeli properti di dusun tersebut. Pengalaman tersebut membuka mata terhadap situasi nyata yang dialami penduduk desa.
“Saat mengetuk pintu, menawarkan membeli tempat tinggal mereka, mereka berpikir saya gila,” katanya. “Sekali waktu, penduduk lokal menyembelih babi tepat di depan mata saya dengan (musik) Bach mengalun menjadi latar belakangnya.”
Hari ini, desa tersebut menjadi kurang pedesaan. Namun, pesona Sextantio terletak ada pada struktur simpatik bersejarahnya. Di tempat resepsionis, bekas kandang keledai, terdapat dua pintu masuk dusun, ada diorama adegan kelahiran yang dipentaskan pada Natal. Petugas menyodorkan kunci kamar yang sangat besar dan berat, 30 sentimeter berasal dari logam murni.
Begitu kamar dibuka suara melengking dari pintu kayu yang berat terdengar. Ruangan hangat, dilingkupi aroma bara, dan kulit jeruk, perfum khusus yang dibuat pihak hotel, membangkitkan aroma khas perapian.
Furnitur lama, roda berputar, dan potongan dari museum bersanding dengan patung modern yang ramping dan fasilitas kamar mandi mewah. Mandi di bak resin elegan putih membawa pada pengalaman tak terlupakan. Dibutuhkan kendi yang menampung air keran jika tamu hendak membilas tubuh mereka. Kemunduran ke masa lalu itu menjadi pengalaman menarik para manusia modern.
Televisi, telepon, atau minibar tidak ditemukan di hotel ini. Meski demikian, Sextantio di Santo Stafano tidak benar-benar tanpa sinyal. Ada sinyal Wifi yang kuat menghidupkan kesunyian teknologi di seluruh bangunan.
Nun jauh di sana, di atas bukit-bukit tandus Grans Sasso, wilayah Abruzzo tengah Italia, dusun kecil itu tak berubah sejak abad pertengahan. Terancam masa lalunya yang liar, sampai Daniele muncul dengan visi.
“Pertama kali saya tiba di sini dengan sepeda motor, saya mengembara. Hilang. Tempat yang murni tanpa jejak modernitas ini mengejutkan saya seperti Saint Paul di Road to Damascus,” katanya.
Daniele, pengusaha berdarah Italia-Swedia itu menciptakan visi hidup. Tempat itu dijadikannya resor mewah, berbaur dengan lingkungan sekitar.
Sextantio di Santo Stafano adalah satu dari beberapa 'hotel menyebar'. Sextantio tidak seperti hotel pada umumnya yang kamarnya mengelompok dengan fasilitas berada di bawah satu atap.
Sextantio mempunyai 29 kamar, spa, bar anggur, restoran, dan resepsionis, semua tersebar pada bangunan terpisah. Dulu, bangunan-bangunan itu digunakan sebagai lumbung, kandang, tempat babi, gudang anggur, serta penginapan para petani dan penggembala.
Pondok batu dan kayu dibenahi menjadi suite mewah. Ruang bawah tanah desa yang tadinya dipakai sebagai tempat pernikahan, dan sarang penyihir berubah, kini menjadi tempat pertemuan bisnis. Bordil abad pertengahan pun dimanfaatkan hotel tersebut.
Santo Stefano di Sessanio adalah labirin jalan, tangga batu curam, lengkungan, kubah, gargoyle (talang air diukir dengan wajah manusia atau hewan), gua-gua tersembunyi, seni dekoratif loggia dari awal abad pertengahan, dan reruntuhan dinding yang ditutupi tanaman merambat.
Masih terlihat reruntuhan di sana. Sisa rumah-rumah runtuh saat gempa pada 2009 yang mengguncang dekat kota L'Aquila.
Sextantio mempunyai 29 kamar, spa, bar anggur, restoran, dan resepsionis, semua tersebar pada bangunan terpisah.(CNN Indonesia/dok.http://www.sextantio.it/)
|
Daniele menggambarkan perjuangan awal dirinya membeli properti di dusun tersebut. Pengalaman tersebut membuka mata terhadap situasi nyata yang dialami penduduk desa.
“Saat mengetuk pintu, menawarkan membeli tempat tinggal mereka, mereka berpikir saya gila,” katanya. “Sekali waktu, penduduk lokal menyembelih babi tepat di depan mata saya dengan (musik) Bach mengalun menjadi latar belakangnya.”
Hari ini, desa tersebut menjadi kurang pedesaan. Namun, pesona Sextantio terletak ada pada struktur simpatik bersejarahnya. Di tempat resepsionis, bekas kandang keledai, terdapat dua pintu masuk dusun, ada diorama adegan kelahiran yang dipentaskan pada Natal. Petugas menyodorkan kunci kamar yang sangat besar dan berat, 30 sentimeter berasal dari logam murni.
Begitu kamar dibuka suara melengking dari pintu kayu yang berat terdengar. Ruangan hangat, dilingkupi aroma bara, dan kulit jeruk, perfum khusus yang dibuat pihak hotel, membangkitkan aroma khas perapian.
Furnitur lama, roda berputar, dan potongan dari museum bersanding dengan patung modern yang ramping dan fasilitas kamar mandi mewah. Mandi di bak resin elegan putih membawa pada pengalaman tak terlupakan. Dibutuhkan kendi yang menampung air keran jika tamu hendak membilas tubuh mereka. Kemunduran ke masa lalu itu menjadi pengalaman menarik para manusia modern.
Televisi, telepon, atau minibar tidak ditemukan di hotel ini. Meski demikian, Sextantio di Santo Stafano tidak benar-benar tanpa sinyal. Ada sinyal Wifi yang kuat menghidupkan kesunyian teknologi di seluruh bangunan.
0 komentar:
Posting Komentar